Makalah
RUANG LINGKUP KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN
Di
Susun Oleh:
MUHAMMAD AMSAL
D1A1
08 165
PENGEMBANGAN
DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
JURUSAN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertanian
merupakan salah satu sektor utama yang menunjang perkembangan perekonomian
Indonesia. Sejak dekade 50-an sampai sekarang, sektor ini selalu menempatkan
diri dalam lima besar pengisi pendapatan negara.
Tetapi
ironisnya perkembangan fungsi dan peran sektor ini tidak berdampak nyata
terhadap mayoritas masyarakat yang bergantung didalamnya. Kondisi ini berjalan
sedemikian rupa, sehingga tanpa terasa telah terjadi ketimpangan yang cukup
mencolok yang menimbulkan masalah baru dalam proses pembangunan nasional.
Di samping
kepincangan ekonomi, yang paling meresahkan saat ini adalah lambannya
pertumbuhan atau peningkatan produktivitas komoditas-komoditas unggulan baik
nasional, regional maupun daerah. Kelambanan tidak hanya dalam peningkatan
kuantiítas produksi saja tetapi juga dalam peningkatan kualitas dan
kontinuitas. Ketiga hal ini merupakan faktor kunci untuk dapat bersaing dalam
pasar global. Saat ini, jangankan untuk bersaing di pasar global, untuk
memenuhi kebutuhan nasional saja negara kita masih tertatih-tatih, sehingga
dijadikan sebagai pasar yang sangat empuk dan potensial bagi negara-negara
maju.
Penulis
berpendapat bahwa ada 3 faktor dominan yang berpengaruh terhadap lambannya
pertumbuhan sektor pertanian khususnya dan sektor ekonomi umumnya, sehingga
menimbulkan “kepincangan”.
Ketiga faktor
tersebut adalah 1) Lemahnya posisi tawar petani; 2) Kurangnya SDM aparat yang
melayani masyarakat dan 3) Kurang tepatnya sistem yang diterapkan. Ketiga
faktor tersebut bisa disebut sebagai “tiga pilar” atau tiga dasar utama dalam
proses pembangunan pertanian. Didalamnya terkandung unsur “kualitas sumberdaya
petani”. Bagaimana upaya yang harus dilakukan, agar kualitas sumber daya petani
bisa ditingkatkan sehingga mempunyai wawasan yang luas dan terbuka serta mudah
menerima pembaharuan.
Berdasarkan
pengalaman diatas, nampaknya tugas pembinaan dan pembimbingan serta pengawasan
secara serius dan berkelanjutan ini tidak bisa dilakukan oleh aparat pemerintah.
Oleh karena itu Tenaga atau badan ini akan berada antara petani dan
pemerintah, akan menjadi jembatan antara petani dan pemerintah. Tenaga atau
badan ini harus bertanggung jawab atas keberhasilan petani sebagai binaannya
dan juga harus bertanggung jawab kepada pemerintah yang membiayainya.
Penguatan
lembaga petani dan perubahan sistem pemberdayaan ini diyakini akan mampu
merubah keadaan, dan akan mampu menggali dan membangkit potensi petani dan
wilayahnya untuk menggapai “keluarga petani yang sejahtera”.
Pembangunan
sebagai upaya sadar dan terencana dalam mengolah dan memanfaatkan sumberdaya
alam untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, idealnya memadukan perimbangan
sosial, ekonomi dan lingkungan dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) yaitu pembangunan yang memenuhi
kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk
memiliki kebutuhan mereka sendiri (WCED, 1987), keseimbangan antara dimensi
sosial, ekonomi dan lingkungan menjadikan kunci yang harus diperhatikan dalam
merumuskan kebijakan pembangunan.
Pengertian
pembangunan berwawasan lingkungan, yaitu lingkungan diperhatikan sejak mulai
pembangunan itu direncanakan sampai pada waktu operasi pembangunan. Pembangunan
berkelanjutan mengandung arti, lingkungan dapat mendukung pembangunan dengan
terus menerus karena tidak habisnya sumberdaya yang menjadi modal pembangunan
(Soemarwoto, 2001). Pembangunan berwawasan lingkungan maknanya setara dengan
pembangunan berkelanjutan, yaitu memanfaatkan sumberdaya alam dan sumberdaya
manusia secara optimal dengan menyelaraskan dan menyerasikan aktivitas manusia
terhadap daya dukung lingkungan. Dengan semakin terbatasnya sumber daya alam
baik dari segi kualitas maupun kuantitas maka pemanfaatan sumber daya alam
tersebut harus dilakukan secara bijaksana dan terencana dengan baik sehingga
dapat menjamin kelestarian lingkungan hidup. Pembangunan yang ramah lingkungan
atau bisa disebut pembangunan berwawasan lingkungan sudah sepatutnya dipikirkan
lebih lanjut oleh setiap komponen bangsa. Pembangunan berwawasan lingkungan
merupakan upaya sadar dan berencana dalam pembangunan sekaligus pengelolaan
sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan.
Setiap warga
negara berhak atas kecukupan pangan, hak atas rasa aman, hak atas penghidupan
dan pekerjaan, hak atas hidup yang sehat, hak atas kebebasan berpendapat serta
hak-hak lainnya sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Tahun
1948. Kesemuanya tersebut tidak hanya merupakan tugas pemerintah saja tetapi
juga seluruh warga negara untuk memastikan bahwa hak tersebut dapat dipenuhi
secara konsisten dan berkesinambungan.
Di dalam pasal
27 UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia menjamin setiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak, sedangkan pasal 33 UUD 1945, perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
Kesejahteraan
petani masih rendah dan tingkat kemiskinan relatif tinggi, meskipun kontribusi
sektor pertanian secara keseluruhan sangat besar terhadap perekonomian
nasional, namun kesejahteraan petani tidak mengalami perubahan. Sekitar 50-60
persen penduduk atau masyarakat Indonesia tinggal di pedesaan. Selanjutnya,
sekitar 70-80 persen kelompok masyarakat ini termasuk golongan miskin dengan
usaha pertanian, perikanan dan kehutanan, yang masih tradisional dan bersifat subsisten.
Minimnya akses terhadap informasi dan sumber permodalan, menyebabkan masyarakat
petani tidak dapat mengembangkan usahanya secara layak ekonomi.
Pembangunan
pertanian yang dilaksanakan selama ini, petani dan kelompok tani lebih dalam
posisi sebagai pelaksana kebijaksanaan pemerintah, lebih diperankan sebagai
obyek pembangunan dan bukan sebagai subyek pembangunan. Pembangunan pertanian
konvensional yang didominansi oleh pemerintah tidak menjamin keberlanjutan
program pembangunan pertanian serta tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
pertanian kerakyatan yang lebih bertumpu pada kemampuan dan kemandirian petani.
Pendekatan pembangunan pertanian perlu diubah dari pembangunan pertanian
berorientasi produksi menjadi pembangunan pertanian kerakyatan yang berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan.
1.2 Tujuan
Berdasarkan
ulasan diatas, maka yang menjadi tujuan dari penyusunan makalah ini adalah
mendeskripsikan Ruang Lingkup Kebijakan Pembangunan Pertanian Serta
Implikasinya Bagi Dunia Pertanian Dan Perikanan.
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Peranan Pertanian dalam Pembangunan
Ekonomi
Pertanian mempunyai peranan yang
sangat penting bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Pentingnya peranan ini
menyebabkan bidang ekonomi diletakkan pada pembangunan ekonomi dengan titik
berat pada sektor pada pertanian. Pembangunan pertanian diarahkan untuk
memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan industry dalam negeri, meningkatkan
ekspor, merningkatkan pendapatan petani, memperluas kesmpatan kerja dan
mendorong pemerataan
kesempatan
berusaha. Sektor pertanian di Indonesia mempunyai keunggulan komperatif hal itu
disebabkan oleh
karena:
1.
Indonesia terletak di daerah katulistiwa
sehingga perbedaan musim menjadi jelas dan periodenya agak lama.
2.
Karena lokasinya di khatulistiwa maka
tanaman cukup memperoleh sinar matahari untuk keperluan fotosintesisnya.
3.
Curah hujan umumnya cukup memadai
4.
Adanya politik pemerintah yang
sedemikian rupa sehingga mendorong tumbuah dan berkembangnya sektor pertanian.
(Soekartawi,1993;3)
Pembangunan Pertanian di Indonesia
tetap dianggap terpenting dari keseluruhan pembangunan ekonomi, apalagi
semenjak sektor pertanian ini menjadi penyelamat perekonomian nasional karena
justru pertumbuhannya meningkat, sementara sektor lain pertumbuhannya negatif.
Menurut Heru A. Muawin (dalam www.herumuawin.blogspot.com),visi
pembangunan pertanian adalah membangun petani melalui bisnis pertanian yang modern,
efisien, dan lestari yang terpadu dengan pembangunan wilayah. Ciri-ciri dari
visi ini adalah :
1.
Membangun petani mengandung pengertian
prioritas pembangunan pertanian harus mendahulukan kesejahteraan petani dalam
arti luas sehingga mampu menumbuh kembangkan partisipasi petani dan mampu
meningkatkan keadaan sosial-ekonomi petani melalui peningkatan akses terhadap
teknologi, modal, dan pasar
2.
Bisnis pertanian mengandung pengertian
pertanian harus dikembangkan dalam suatu sistem agribisnis pertanian mulai dari
bisnis input produksi, hasil produksi pertanian, deversifikasi usaha pertanian,
serta bisnis hasil olahannya yang mampu akses ke pasar internasional. Melalui
aktifitas agribisnis pertanian yang lebih luas ini diharapkan mampu lebih
meningkatkan peran pertanian terhadap pembangunan nasional baik terhadap
penyerapan tenaga kerja, pendapatan nasional, perolehan devisa, maupun
peningkatan gizi masyarakat
3.
Modern mengandung pengertian menggunakan
teknologi yang dinamis dan spesifik lokasi pengembangan sesuai dengan tutuntan
zaman.
4.
Efisien mengandung pengertian mampu berdaya
saing di pasar internasional yang dicirikan pada pengembangan yang didasarkan
sumberdaya yang mempunyai keunggulan komparatif dan berkualitas tinggi.
5.
Lestari mengandung pengertian
menggunakan sumberdaya yang optimal dan tetap memperhatikan aspek kelestarian
sumberdaya pertanian.
6.
Terpadu dengan pembangunan wilayah
mengandung pengertian pembangunan pertanian harus didukung oleh pembangunan
wilayah baik pembangunan infrastruktur maupun pembangunan sosial ekonomi kemasyarakatan.
2.2 Kebijakan
Pembangunan Pertanian
Pembangunan merupakan suatu proses
yang berkelanjutan dan berkesinambungan. Pada era reformasi, paradigma
pembangunan pertanian meletakkan petani sebagai subyek, bukan semata-mata
sebagai peserta dalam mencapai tujuan nasional. Karena itu pengembangan
kapasitas masyarakat guna mempercepat upaya memberdayakan ekonomi petani,
merupakan inti dari upaya pembangunan pertanian.
Upaya tersebut dilakukan untuk
mempersiapkan masyarakat pertanian menjadi mandiri dan mampu memperbaiki
kehidupannya sendiri. Peran Pemerintah adalah sebagai stimulator dan
fasilitator, sehingga kegiatan sosial ekonomi masyarakat petani dapat berjalan
dengan sebaik-baiknya. Pembangunan pertanian yang berhasil harus memiliki
langkah-langkah kebijakan yang diambil yaitu meliputi usaha intensifikasi,
ekstensifikasi, diversifikasi, dan rehabilitasi, yang intinya tercakup dalam
pengertian Trimarta Pembangunan pertanian yaitu kebijaksanaan usaha tani
terpadu, komoditi terpadu, dan wilayah terpadu.
Di samping itu juga harus diperhatikan
tiga komponen dasar yang harus dibina yaitu petani, komoditi hasil pertanian,
dan wilayah pembangunan dimana kegiatan pertanian berlangsung, pembinaan
terhadap petani diarahkan sehingga
menghasilkan peningkatan pendapatan petani. Pengembangan komoditi hasil
pertanian diarahkan benar-benar berfungsi sebagai sektor yang menghasilkan
bahan pangan, bahan ekspor, dan bahan baku bagi industry.
Pembinaan
terhadap wilayah pertanian ditujukan agar dapat menunjang pembanngunan wilayah
seutuhnya dan tidak terjadi ketimpangan antar wilayah. (Moehar Daniel, 1994)
Sebaliknya, suatu pertanian berkelanjutan lebih mengandalkan
pemanfaatan sumber daya yang tersedia seperti bibit lokal, sumber air,
matahari, dan teknologi yang ramah lingkungan; dan juga sangat mengutamakan
pemanfaatan pupuk kandang (kompos) dan pengendali hama alami atau pestisida
dari bahan- bahan alami. Oleh karena itu, inti pemahaman pertanian
berkelanjutan adalah sangat mengutamakan pemanfaatan sumber daya lokal beserta
pengetahuan lokal.
Pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan sumber daya
alam dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan yang dilaksanakan
sedemikian rupa dapat menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara
berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang (FAO, 1989). Pembangunan di
sektor pertanian, kehutanan dan perikanan harus mampu mengkonservasi tanah,
air, tanaman dan sumber genetik binatang, tidak merusak lingkungan, secara
teknis tepat guna, secara ekonomi layak dan secara sosial dapat diterima.
Pertanian berkelanjutan adalah suatu konsep pemikiran masa depan . Pertanian
berkelanjutan adalah pertanian yang berlanjut untuk saat ini , saat yang akan
datang dan selamanya. Artinya pertanian tetap ada dan bermanfaat bagi semuanya
dan tidak menimbulkan bencana bagi semuanya. Jadi dengan kata lain pertanian
yang bisa dilaksanakan saat ini, saat yang akan datang dan menjadi warisan yang
berharga bagi anak cucu kita.
BAB
III PEMBAHASAN
3.1 Latar Belakang Lahirnya Kebijakan
Pembangunan Pertanian
Pembangunan pertanian yang dilaksanakan selama ini, merupakan
pertanian konvensional yang ditujukan untuk memacu pertumbuhan ekonomi tidak
menjamin keberlanjutan program pembangunan pertanian kerakyatan yang
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Salim,1991).
Teknologi pertanian yang diterapkan dan dikembangkan oleh
Pemerintah Indonesia dan peneliti selama ini merupakan teknologi cetak biru
(blue print) cenderung seragam, boros energi, boros sumber daya hayati,
eksploitatif, orientasi peningkatan produksi, serta tidak mengikutsertakan
petani/rakyat dalam pengembangan, perencanaan dan penerapannya. Aspek-aspek
ekologi, keadilan dan pemerataan pendapatan, demokrasi dalam pengambilan
keputusan serta kesesuaian dengan kondisi lokal kurang dipertimbangkan.
Dampak negatif pertanian konvensional: (1) menurunkan daya
dukung lingkungan karena peningkatan erosi, pemiskinan unsur hara tanah,
kerusakan struktur tanah, peningkatan residu bahan kimia berbahaya, membunuh
organisme penyubur tanah, (2) penggunaan saprodi semakin tidak efisien, untuk
peningkatan satu unit produksi yang sama diperlukan lebih banyak sapordi
daripada sebelumnya, (3) ketergantungan petani pada penggunaan saprodi dan
pihak industri saprodi semakin meningkat, (4) pemiskinan keanekaragaman hayati
lingkungan pertanian.
Sebagai contoh penggunaan pestisida yang berlebihan
menyebabkan resurgensi, resistensi dan munculnya hama penyakit sekunder.
Penggunaan pupuk yang berlebihan malah menyebabkan pertumbuhan vegetatif yang
tak diinginkan dan di daerah hilir menyebabkan eutrifikasi (suburnya perairan akibat
akumulasi hara oleh aliran air). Lahan sebagai penopang utama telah rusak, maka
akan sangat mahal biaya yang harus dikeluarkan dan dimasa yang akan datang anak
cucu hanya ditinggali barang sisa kurang bermutu. Pada hal harapakn kita semua
generasi yang akan datang harus lebih baik daripada generasi saat ini.
Setelah lebih dari 30 tahun menerapkan pembangunan pertanian
konvensional kini menghadapi beberapa indikator keberhasilan pembangunan yang
memprihatinkan: (1) tingkat produktivitas lahan menurun, (2) tingkat kesuburan
lahan merosot , (3) konversi lahan pertanian semakin meningkat, (4) luas dan
kualitas lahan kritis semakin meluas, (5) tingkat pencemaran dan kerusakan
lingkungan meningkat , (6) daya dukung lingkungan merosot, (7) tingkat
pengangguran di pedesaan semakin meningkat, (8) daya tukar petani semakin
berkurang, (9) penghasilan dan kesejahteraan keluarga petani semakin menurun,
(10) kesenjangan sosial antar kelompok masyarakat meningkat.
3.2 Sejarah dari Lahirnya Kebijakan
Pembangunan Pertanian
Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan memiliki banyak
pulau, salah satu pulau tersebut ialah Pulau Jawa. Pulau Jawa memilki luas
132.000 Km², kira-kira 9% dari luas Indonesia yakni 1,5 juta km². Akan tetapi
dari seluruh jumlah penduduk Indonesia hampir 2/3
penduduknya bertempat di Jawa. Ini berarti 9% luas tanah Indonesia menampung 2/3
jumlah penduduk sedangkan lebih dari 90% luas tanah hanya menampung 1/3
jumlah penduduk.
Pola kontras antara jawa dengan luar jawa ini juga dapat
dilihat dari penggunaan tanah. Hampir 70% Pulau Jawa ditanami setiap tahun,
sedangkan diluar jawa hanya sekitar 4%. Bagian luar jawa hampir 90% ditanami
dengan cara perladangan, bercocok tanam berpindah-pindah dan tebang bakar.
Sementara di Jawa hampir seluruhnya ditanami 2 kali setahun dengan cara sawah
beririgasi.
Sejarah menjadi penting bukan karena romantisme nostalgia
atau mengagungkan kebanggaan prestasi, tetapi justru karena dapat menjadi
cermin untuk mengenal jati diri dan memperbaiki hari esok dalam lintasan
sejarah itu sendiri. Perjalanan sejarah pertanian Indonesia dihiasi dengan
serangkaian keberhasilan yang patut disyukuri. Setelah kemerdekaan Indonesia
mencapai surplus produksi beras dan mengirimkan sebagian berasnya pada India
yang ketika itu tengah mengalami bencana. Indonesia juga dikenal sebagai
eksportir gula yang utama. Setelah melewati krisis politik pada pertengahan
Tahun 1960, Indonesia berhasil menerapkan paket teknologi kelembagaan hingga
mampu menjadi negara yang dikenal mampu menjadi negara berswasembada.
Keberhasilan swasembada beras pada pertengahan Tahun 1980 dapat ditunjukkan
oleh angka-angka statistik yang cukup meyakinkan, namun disisi lain, kondisi
swasembada yang terjadi hanya dalam waktu singkat dan biaya sangat besar
mendapatkan beberapa permasalahan di kemudian hari.
Menanggapi sukses ekonomi Indonesia yang sangat luar biasa,
seorang analis ekonomi Hal Hill menulis :
Seperempat abad terakhir merupakan periode perubahan yang
luar biasa pesatnya bagi Indonesia. Diawal-awal Tahun 1960-an, Indonesia
sebenarnya tidak banyak dikenal orang. Semenjak Tahun 1966 ekonominya
berkembang mencapai 500% dan penduduknya sekitar 75%. Masyarakatnya lebih
terdidik dan tercukupi dalam sandang dan pangan daripada sebelumnya. Kemiskinan
pun semakin berkurang secara signifikan… Saat ini bangsa Indonesia mampu
mencukupi dirinya sendiri. Ia siap bergabung dalam barisan “naga ekonomi” Asia
lantaran berbagai hasil industrinya melampaui hasil-hasil di bidang pertanian
(Hill, 1994).
Revolusi hijau memang mampu meningkatkan produksi beras
nasional dan mengubah status Indonesia dari pengimpor beras terbesar menjadi
negara swasembada beras pada Tahun 1984. Namun setelah itu, Indonesia kembali
menjadi pengimpor beras. Pada Tahun 1985, Indonesia mengimpor 9.429 ton beras.
Sedangkan pada Tahun 1987 impor beras Indonesia meningkat menjadi 54.830 ton
dan pada Tahun 1992 mencapai 566.441 ton. Hardiyoko dan Panggih Saryoto
menuliskan :
Dari data yang ada, produksi beras nasional Indonesia tidak
lagi mampu mencukupi kebutuhan beras penduduk mulai Tahun 1985. Meski revolusi
hijau mampu mengangkat swasembada beras, namun penerapannya telah berdampak
negatif terhadap lingkungan dan manusia.
Pada orde baru, “politik swasembada” menjadi bendera utama
pengelolaan pembangunan pertanian, dengan mengembangkan dan menerapkan program
yang sebenarnya sudah dicanangkan sebelumnya, yaitu intensifikasi dengan
penerapan teknologi, ekstensifikasi, rehabilitasi dan berbagai program lain.
Keberhasilan program swasembada beras sebagai monumen keberhasilan pembangunan
pertanian orde baru, dicapai setelah lebih dari 15 tahun program Pelita
dijalankan dan penetapan pertanian sebagai prioritas (sementara sektor lain
menjadi penunjang), menjadikan pembangunan pertanian sebagai program di semua
lini pemerintahan. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa keberhasilan
pembangunan pertanian pada masa itu lebih dari 60 % ditentukan oleh faktor
infrastruktur dan kelembagaan penunjang, sedangkan sekitar 40 % sendiri
ditentukan oleh berbagai usaha yang dilakukan internal sektor pertanian
sendiri. Namun setelah pertengahan Tahun 1980-an –setelah industri ditempatkan
sebagai prioritas pertama- ekonomi Indonesia kemudian memang berkembang lebih
cepat, tetapi juga menjadi lebih rapuh yang berakhir dengan krisis finansial
Tahun 1997/1998.
Pada masa transisi reformasi, politik pertanian Indonesia
terbawa oleh arus perkembangan politik nasional yang lebih besar. Departemen
Pertanian melakukan pembangunan pertanian yang terdesentralisasi sesuai dengan
era politik yang dianut pada masa tersebut. Selain itu arah pertanian menjadi
lebih berdaya saing yang mencerminkan perlunya usaha menghadapi tekanan
persaingan yang semakin besar, berkerakyatan yang mencerminkan semangat
partisipasi dan berkelanjutan sejalan dengan peningkatan kesadaran akan
pentingnya pelestarian lingkungan.
Pada
awal masa orde baru pemerintahan menerima beban berat dari buruknya
perekonomian orde lama. Tahun 1966-1968 merupakan tahun untuk rehabilitasi
ekonomi. Pemerintah orde baru berusaha keras untuk menurunkan inflasi dan
menstabilkan harga. Dengan dikendalikannya inflasi, stabilitas politik tercapai
yang berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang mulai terjamin dengan adanya
IGGI. Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan
pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Berikut
penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA.
1. REPELITA I (1969-1974)
Repelita
I mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974. Repelita
I ini merupakan landasan awal pembangunan pertanian di orde baru. Tujuan
yang ingin dicapai adalah pertumbuhan ekonomi 5% per tahun dengan sasaran yang
diutamakan adalah cukup pangan, cukup sandang, perbaikan prasarana terutama
untuk menunjang pertanian. Tentunya akan diikuti oleh adanya perluasan lapangan
kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Titik berat Repelita I ini
adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar
keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena
mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian. Pada repelita I
ini muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal
15-16 Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia.
Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut
Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang
Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan
pembakaran barang-barang buatan Jepang.
2. REPELITA II (1974-1979)
Repelita
II mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979. Target
pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 7,5% per tahun. Prioritas utamanya adalah
sektor pertanian yang merupakan dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam
negeri dan merupakan dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah
menjadi bahan baku. Selain itu sasaran Repelita II ini juga perluasan lapangan
kerja. Repelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk
7% setahun. Perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi
kenaikna produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang di rehabilitasi dan di
bangun.
3. REPELITA III (1979-1984)
Repelita
III mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1979 – 31 Maret 1984. Repelita III
lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan yang bertujuan terciptanya masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan
ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman pembangunan
nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan.
4. REPELITA IV (1984-1989)
Repelita
IV mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1984 – 31 Maret 1989. Repelita IV
Adalah peningkatan dari Repelita III. Peningkatan usaha-usaha untuk memperbaiki
kesejahteraan rakyat, mendorong pembagian pendapatan yang lebih adil dan
merata, memperluas kesempatan kerja. Prioritasnya untuk melanjutkan usaha
memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan
mesin-mesin industri sendiri. Hasil yang dicapai pada Repelita IV antara lain
swasembada pangan. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras
sebanyak 25,8 ton. Hasilnya Indonesia berhasil swasembada beras. Kesuksesan ini
mendapatkan penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada
tahun 1985. hal ini merupakan prestasi besar bagi Indonesia. Selain swasembada
pangan, pada Pelita IV juga dilakukan Program KB dan Rumah untuk keluarga.
5. REPELITA V (1989-1994)
Repelita
V mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1989 – 31 Maret 1994. Pada Repelita
V ini, lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk
memantapakan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya
serta menghasilkan barang ekspor. Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan
jangka panjang tahap pertama. Lalu dilanjutkan pembangunan jangka panjang ke
dua, yaitu dengan mengadakan Repelita VI yang di harapkan akan mulai memasuki
proses tinggal landas Indonesia untuk memacu pembangunan dengan kekuatan
sendiri demi menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila.
6. REPELITA VI (1989-1994)
Repelita
VI mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1994 – 31 Maret 1999. Pada Repelita
VI titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan
dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber
daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak
utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda
negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan
peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim
Orde Baru runtuh.
Memasuki
era globalisasi yang dicirikan oleh persaingan perdagangan internasional yang
sangat ketat dan bebas, pembangunan pertanian semakin dideregulasi melalui
pengurangan subsidi, dukungan harga dan berbagai proteksi lainnya. Kemampuan
bersaing melalui proses produksi yang efisien merupakan pijakan utama bagi
kelangsungan hidup usahatani. Sehubungan dengan hal tersebut, maka partisipasi
dan kemampuan wirausaha petani merupakan faktor kunci keberhasilan pembangunan
pertanian.
Pertanian konvensional diartikan sebagai cara bertani yang
menghabiskan sumber daya, pertanian industri, dan pertanian input eksternal
tinggi atau intensif. Sebagai gambaran sederhana, pertanian konvensional
memakai masukan (input) luar seperti pupuk pabrik, bibit pabrik, pestisida dan
herbisida kimia pabrik, yang umumnya merusak kelestarian tanah dan alam.
Sebaliknya, suatu pertanian berkelanjutan lebih mengandalkan pemanfaatan sumber
daya yang tersedia seperti bibit lokal, sumber air, matahari, dan teknologi
yang ramah lingkungan; dan juga sangat mengutamakan pemanfaatan pupuk kandang
(kompos) dan pengendali hama alami atau pestisida dari bahan- bahan alami. Oleh
karena itu, inti pemahaman pertanian berkelanjutan adalah sangat mengutamakan
pemanfaatan sumber daya lokal beserta pengetahuan lokal.
Pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan sumber daya
alam dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan yang dilaksanakan sedemikian
rupa dapat menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara
berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang (FAO, 1989). Pembangunan di
sektor pertanian, kehutanan dan perikanan harus mampu mengkonservasi tanah,
air, tanaman dan sumber genetik binatang, tidak merusak lingkungan, secara
teknis tepat guna, secara ekonomi layak dan secara sosial dapat diterima.
Pertanian berkelanjutan adalah suatu konsep pemikiran masa depan . Pertanian
berkelanjutan adalah pertanian yang berlanjut untuk saat ini , saat yang akan
datang dan selamanya. Artinya pertanian tetap ada dan bermanfaat bagi semuanya
dan tidak menimbulkan bencana bagi semuanya. Jadi dengan kata lain pertanian
yang bisa dilaksanakan saat ini, saat yang akan datang dan menjadi warisan yang
berharga bagi anak cucu kita.
1.
Paradigma Baru
Dari uraian di atas, terlihat bahwa pembangunan pertanian
berkelanjutan adalah masalah yang kompleks. Menurut Soemarwoto (1992), masalah
itu timbul karena perubahan lingkungan yang menyebabkan lingkungan itu tidak
atau kurang sesuai lagi untuk mendukung kehidupan manusia. Akibatnya adalah
terganggunya kesejahteraan manusia. Masalah lingkungan berkaitan erat dengan
ekonomi global, sehingga memerlukan solidaritas dan kerja sama antar bangsa.
Krisis lingkungan global bersumber pada kesalahan fundamental
filosofis dari etika antroposentris, yang memandang manusia sebagai pusat dari
alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala
isinya sekadar alat bagi pemuasan kepentingan hidup manusia (Keraf, 2002). Cara
pandang seperti ini melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa peduli
sama sekali terhadap alam dan segala isinya. Diperlukan paradigma baru
interaksi manusia dengan seluruh kehidupan di bumi yang memandang alam sebagai
bernilai pada dirinya sendiri dan pantas diperlakukan secara bermoral. Manusia
dituntut untuk menjaga dan melindungi alam beserta isinya. Perubahan paradigma
ini berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi, namun tidak berarti bahwa
pertumbuhan ekonomi akan terganggu secara signifikan, justru kerusakan
sumberdaya alam bisa dikurangi. Implementasi konsep efisiensi yang merupakan
perpaduan yang efektif antara ekonomi, ekologi, dan sosial dalam penggunaan
sumberdaya sangat diperlukan.
2.
Visi dan Misi Pertanian Berkelanjutan
Konferensi PBB tentang Pembangunan dan Lingkungan (The United
Nation Conference on Environment and Development-UNCED) pada bulan Juni 1992 di
Rio de Janeiro dikenal dengan Agenda 21 merupakan tonggak sejarah. Perwakilan
dari 179 negara, Indonesia termasuk didalamnya sepakat bahwa pembangunan
ekonomi serta sosial harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh, menekankan
keterkaitan antara pembangunan dan lingkungan (Sutamihardja, 2005).
Seperti yang tercantum dalam ketetapan MPR No. IV, tahun 1999
menyatakan bahwa : Visi : Pendekatan dan teknologi pertanian yang
layak ekonomi, dapat dipertanggungjawabkan secara ekologi, secara sosial dapat
diterima dan berkeadilan , secara budaya sesuai dan berdasarkan pendekatan
holistik . Misi : Pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi
nasional terutama pengusaha kecil, menengah, dan koperasi dengan mengembangkan
sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan,
berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif, mandiri,
maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan. Pembangunan
berwawasan lingkungan merupakan upaya sadar dan berencana dalam pembangunan
sekaligus pengelolaan sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan.
3.
Arah kebijakan
Pertanian berkelanjutan merupakan implementasi dari pertanian
kerakyatan pada kondisi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya serta politik di
Indonesia. Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme
pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat dan memperhatikan
pertumbuhan ekonomi, nilainilai keadilan, kepentingan sosial, kualitas hidup,
pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, sehingga terjamin
kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja, perlindungan hak-hak konsumen,
serta perlakuan yang adil bagi seluruh masyarakat.
Ekonomi kerakyatan adalah sektor yang melibatkan dan
menghidupi sebagian besar rakyat Indonesia, masih memiliki prospek yang cukup
cerah untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai andalan Indonesia dalam
perdagangan bebas. Ekonomi kerakyatan yang berbasis pada sumber daya manusia
yang produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan, dan
berkelanjutan. SDM yang berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
berarti bahwa SDM yang memahami dan melaksanakan pembangunan berkelanjutan
berwawasan lingkungan. Demikian juga pada sektor pertanian SDM yang akan
menjadi pelaksana pertanian kerakyatan harus memahami prinsip, falsafah dan
praktek pertanian berkelanjutan. Pada konsideran UU No. 12 Tahun 1992 tentang
Sistem Budidaya Tanaman pada butir (b) dinyatakan bahwa sistem pembangunan yang
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan perlu ditumbuhkembangkan dalam
pembangunan pertanian secara menyeluruh dan terpadu.
Pertanian kerakyatan merupakan pertanian yang berorientasi
pada kepentingan dan kesejahteraan petani yang merupakan kelompok terbesar
rakyat Indonesia. Pertanian berasal dan berakar pada rakyat, untuk rakyat,
sesuai dengan kondisi dan kemampuan rakyat, bertumpu pada kemampuan dan
kemandirian rakyat dalam mengambil keputusan pengolahan sistem usaha tani
secara optimal dan dinamis, berdaya saing dengan memanfaatkan berbagai kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. serta daya dukung lingkungannya. Pilar utama
atau kekuatan utama pelaksana pertanian kerakyatan adalah usaha kecil, menengah
dan koperasi. Pertanian berkelanjutan merupakan suatu pilihan lain atau
"tandingan" bagi pertanian konvensional. Istilah lain untuk pertanian
berkelanjutan antara lain adalah : (1) pertanian alternatif, (2) pertanian
alamiah, (3) pertanian ekologis (ramah lingkungan), (4) pertanian organik.
Tujuh Dimensi Pertanian Berkelanjutan sebagaimana berikut ini, bahwa pertanian
berkelanjutan harus menjadi pertanian: (1) ramah lingkungan, (2) menggairahkan
kehidupan ekonomi, (3) adil dan layak secara sosial, (4) peka pada nilai
budaya, (5) mampu mengembangkan teknologi tepat guna, (6) mampu menjadi
pengetahuan yang menyeluruh, (7) menjadi obor bagi kemanusiaan. Pertanian
berkelanjutan akan terwujud bila manusia bersungguh-sungguh memahami bahwa
cita-cita pertanian berkelanjutan dilandasi suatu pembaharuan atau reformasi
atas sumber-sumber daya alam dan agraria di mana rakyat secara adil dan setara
dapat merasakan dan memanfaatkannya.
4.
Langkah yang bisa dilaksanakan :
Langkah yang bisa ditempuh adalah : (1) meningkatkan
kesadaran terhadap pertanian berkelanjutan, (2) setiap pihak yang berkait
dengan pertanian melaksanakan prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan, (3)
ketiga dukungan konsumen yang tidak mengkonsumsi produk pertanian yang tidak
ramah lingkungan, (4) melaksanakan pengolahan tanam dengan sebanyak mungkin
menggunakan pupuk organik, dan (5) pengendalian hama penyakit dengan
menggunakan bahan yang ramah lingkungan. Pembangunan pertanian berkelanjutan
harus meliputi 5 aspek, yaitu : (1) ketersediaan kualitas infrastruktur
pertanian di perdesaan, (2) menciptakan struktur kepemilikan lahan yang lebih
baik, (3) menciptakan ketahanan pangan dan ketahanan energi, (4) meningkatkan
kesejahteraan masyarakat keseluruhan baik masyarakat perdesaan maupun
perkotaan. Pendekatan dilakukan secara ramah lingkungan sehingga tidak
mengurangi kapasitas produktif jangka panjang dari sumber daya pertanian yang
dimiliki.
Pemerintahan pada Kabinet Indonesia
Bersatu telah menetapkan program pembangunannya dengan menggunakan strategi
tiga jalur (triple track strategy) sebagai manifestasi dari strategi
pembangunan yang lebih pro-growth, pro-employment dan pro-poor.
Operasionalisasi konsep strategi tiga jalur tersebut dirancang melalui hal-hal
sebagai berikut:
- Peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6.5 persen per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor.
- Pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru.
- Revitalisasi pertanian dan perdesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan.
Revitalisasi pertanian diartikan
sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian
secara proporsional dan kontekstual, melalui 26 peningkatan kinerja sektor
pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain.
Revitalisasi pertanian dimaksudkan untuk menggalang komitmen dan kerjasama
seluruh stakeholder dan mengubah paradigma pola piker masyarakat dalam
melihat pertanian tidak hanya sekedar penghasil komoditas untuk dikonsumsi.
Pertanian harus dilihat sebagai sektor yang multi-fungsi dan sumber kehidupan
sebagian besar masyarakat Indonesia.
Kegiatan pembangunan pertanian tahun
2005-2009 dilaksanakan melalui tiga program, yaitu:
1. Program peningkatan ketahanan pangan
Operasionalisasi program peningkatan
ketahanan pangan dilakukan melalui peningkatan produksi pangan, menjaga
ketersediaan pangan yang cukup aman dan halal di setiap daerah setiap saat, dan
antisipasi agar tidak terjadi kerawanan pangan.
2. Program pengembangan agribisnis
Operasionalisasi program
pengembangan agribisnis dilakukan melalui pengembangan sentra/kawasan
agribisnis komoditas unggulan.
3. Program peningkatan kesejahteraan
petani.
Operasionalisasi program peningkatan
kesejahteraan petani dilakukan melalui pemberdayaan penyuluhan, pendampingan,
penjaminan usaha, perlindungan harga gabah, kebijakan proteksi dan promosi
lainnya. Selama periode 2005-2009 pembangunan pertanian juga terus mencatat
berbagai keberhasilan. Salah satu yang patut disyukuri dan membanggakan adalah
Indonesia berhasil mencapai swasembada beras sejak tahun 2007, serta swasembada
jagungdan gula konsumsi rumah tangga di tahun 2008.
Pembangunan pertanian pada periode
2010-2014, Kementerian Pertanian mencanangkan 4 (empat) target utama, yaitu
sebagai berikut:
1) Pencapaian Swasembada dan Swasembada
Berkelanjutan.
Dalam rangka peningkatan produksi
pertanian pada periode lima tahun ke depan (2010-2014), Kementerian Pertanian
akan lebih fokus pada peningkatan 39 komoditas unggulan nasional. Komoditas
unggulan nasional tersebut terdiri dari 7 komoditas tanaman pangan, 10
komoditas hortikultura, 15 komoditas perkebunan, dan 7 komoditas peternakan.
2. Peningkatan Diversifikasi Pangan.
Diversifikasi pangan atau keragaman
konsumsi pangan merupakan salah satu strategi mencapai ketahanan pangan.
Sasaran percepatan keragaman konsumsi pangan adalah tercapainya pola konsumsi
pangan yang aman, bermutu, dan bergizi seimbang yang dicerminkan oleh
tercapainya skor Pola Pangan Harapan (PPH) sekurang-kurangnya 93,3 pada tahun
2014. Konsumsi umbi-umbian, sayuran, buah-buahan, pangan hewani ditingkatkan
dengan mengutamakan produksi lokal, sehingga konsumsi beras diharapkan turun
sekitar 3% per tahun.
3. Peningkatan Nilai Tambah, Daya
Saing, dan Ekspor.
Peningkatan nilai tambah akan
difokuskan pada dua hal yakni peningkatan kualitas dan jumlah olahan produk
pertanian untuk mendukung peningkatan daya saing dan ekspor. Peningkatan
kualitas produk pertanian (segar dan olahan) diukur dari peningkatan jumlah
produk pertanian yang mendapatkan sertifikasi jaminan mutu (SNI, Organik, Good
Agricultural Practices, Good Handling Practices, Good
Manucfacturing Practices). Peningkatan daya saing akan difokuskan pada
pengembangan produk berbasis sumberdaya local yang bisa meningkatkan pemenuhan
permintaan untuk konsumsi dalam negeri dan bisa mengurangi ketergantungan impor
(substitusi impor). Peningkatan ekspor akan difokuskan pada pengembangan produk
yang punya daya saing di pasar internasional, baik segar maupun olahan, yang
kebutuhan di pasar dalam negeri sudah tercukupi. Indikatornya adalah
pertumbuhan volume ekspor. Sedangkan indikator utama, strategi, dan rencana aksi
dalam rangka peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor produk pertanian
pada periode lima tahun ke depan (2010-2014).
4. Peningkatan Kesejahteraan Petani.
Unsur penting yang berpengaruh
terhadap tingkat kesejahteraan petani adalah tingkat pendapatan petani.
Walaupun demikian tidak selalu upaya peningkatan pendapatan petani secara
otomatis diikuti dengan peningkatan kesejahteraan petani, karena kesejahteraan
petani juga tergantung pada nilai pengeluaran yang harus dibelanjakan keluarga
petani serta faktor-faktor non-finansial seperti factor sosial budaya. Walaupun
demikian, sisi pendapatan petani merupakan sisi yang terkait secara langsung
dengan tugas pokok dan fungsi Kementerian Pertanian. Oleh karena itu, dalam
kerangka peningkatan kesejahteraan petani, prioritas utama Kementerian
Pertanian adalah upaya meningkatkan pendapatan petani.
3.3 Dampak atau Implikasi bagi Dunia
Pertanian dan Perikanan
Dampak Revolusi Hijau di Indonesia
Awalnya,
teknologi revolusi hijau di Indone-sia dapat menaikkan tingkat produksi
pangan khususnya padi secara
spektakuler. Pada dekade 1970-an, Indonesia masih mengimpor 1,5 juta ton beras
per tahun. Tetapi, pada tahun 1985 Indonesia mampu mengekspor 1,5 juta ton
beras. Antara tahun 1968 sampai 1984, produksi beras meningkat rata-rata
sekitar 5 % per tahun. Tetapi, kesuksesan ini tidak bertahan lama. Berdasarkan
data BPS, kenaikan produktivitas lahan sawah di Jawa, sejak dekade 1980-an,
telah menunjukkan pelandaian[2] (levelling off). Padahal, data BPS
pada periode tahun 1980 sampai 1991, menunjukkan bahwa konsumsi pupuk terus
meningkat. Gejala penurunan produktivitas lahan ini menunjukkan adanya
penurunan efisiensi penggunaan (penyerapan) pupuk di mana tingkat kenaik-an
produksi per satuan pupuk yang digunakan (ditambahkan) makin menurun.
Penggunaan pupuk kimia yang berlebih dan secara terus-menerus merupakan faktor
penyebab utama merosotnya produktivitas lahan lahan sawah di Jawa.
Gambaran
di atas setidaknya menunjukkan bahwa hasil dari teknologi revolusi hijau telah
mencapai titik jenuh atau titik puncak produktivitas (yield ceilings).
Walaupun tak dapat dipungkiri bahwa menurunnya produksi pangan dipacu oleh alih
fungsi (konversi) lahan; dari fungsi pertanian ke nonpertanian, secara
besar-besaran di Jawa dan luar Jawa, tetapi penurunan tersebut tidak bias
dilepaskan dari kebijakan teknologi revolusi hijau. Impor beras sebesar 2,5
juta ton yang dilakukan Bulog pada awal tahun 1998 ini, semakin mempertegas
runtuhnya daya tahan revolusi hijau untuk menyokong swasembada beras di
Indonesia. Di pihak lain, revolusi hijau telah memunculkan berbagai masalah
baru yang semakin kompleks dan sulit dipecahkan. Studi kualitatif yang dilakukan
ELSPPAT (Juli s.d. September 1997) di beberapa tempat di pulau Jawa,
menunjukkan bahwa teknologi revolusi hijau telah menimbulkan kerusakan
ekosistem yang parah. Hal ini sebenarnya telah dilaporkan oleh IRRI Los Banos
sebelas tahun lalu[3]. Penggunaan pupuk kimia (anorganik) dan
pestisida secara besarbesaran dan tak terkendali telah menurunkan tingkat
kesuburan lahan[4] serta menimbulkan pencemaran lingkungan
dan ledakan (serangan) hama-penyakit yang tidak terkendali. Kondisi ini, selain
merugikan petani secara ekonomis, juga telah mengganggu kesehatan dan mengancam
kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lain di muka bumi.
Selain
kerusakan lingkungan dan ancaman kelangsungan hidup manusia, teknologi revolusi
hijau juga telah memunculkan masalah lain, yaitu ketergantungan petani. Di
antaranya adalah ketergantungan petani terhadap input eksternal buatan pabrik,
seperti pupuk kimia (anorganik), pestisida dan bahan sintetis lain.
Ketergantungan ini sebenarnya belum tentu berarti jelek. Tetapi, karena nilai
tukar produk pangan di Indonesia sangat rendah, maka ketergantungan itu
cenderung memberatkan petani secara ekonomis. Masuknya revolusi hijau lalu
mereduksi dan menghilangkan pranata sosial-budaya masyarakat lokal seperti:
tanggung jawab sosial dalam penyediaan lapangan kerja, pengelolaan sumberdaya
alam secara kolektif (mis. lumbung desa, bank kompos, pengaturan air), tradisi
gotong-royong, serta teknologi dan pengetahuan lokal. Di Jawa misalnya, sistem
budidaya yang berlandaskan pada penanggalan Jawa (pranatamangsa), hampir
tidak dikenal lagi.
Pemaparan
di atas setidaknya telah cukup untuk menggambarkan kegagalan revolusi hijau
untuk menyejahterakan petani. Bahkan, jika dilihat dari kerusakan lingkungan
yang telah terjadi, revolusi hijau telah mengancam kelangsungan makhluk hidup
di muka bumi. Sayangnya, sampai saat ini, kebijakan pembangunan pertanian rejim
Orde Baru khususnya di subsistem budidaya tanaman panganæ tidak banyak berubah,
yaitu: masih sarat dengan muatan teknologi revolusi hijau. Sejak dekade 1970-an
sampai sekarang, kebijakan Orde Baru terus menempatkan petani di bawah
bayang-bayang pemaksaan lewat program BIMAS. Bahkan, program BIMAS selama tiga
dekade telah memantapkan ketergantungan petani Indonesia terhadap teknologi
revolusi hijau. Pemerintahan Orde Baru[5] bersikap acuh tak acuh terhadap berbagai
dampak negatif dan korban akibat revolusi hijau. Bahkan, kebijakan pertanian
pemerintah masih melegitimasi pemaksaan terselubung terhadap petani.
Lewat
kebijakan perundang-undangan produk rejim Orde Baru yaitu: UU No. 12/1992
tentang Sistem Budidaya Tanaman pemerintah melakukan pembatasan sistematis di
mana petani masih diwajibkan ‘berpartisipasi dalam pembangunan’. Dalam
prakteknya, ‘berpartisipasi dalam pembangunan’ berarti: kewajiban petani untuk
melaksanakan program tertentu yang telah direncanakan pemerintah.
Kewajiban
tersebut merupakan pengingkaran terhadap kebebasan dan hak-hak petani untuk
memilih sendiri corak proses produksinya. Kewajiban itu juga menciptakan
ketergantungan petani terhadap pemerintah dan kaum kapitalis (pemodal). Petani
tidak lagi punya kemandirian menentukan pilihan teknologinya sendiri dalam
proses produksi. Lebih jauh, kondisi ini ikut menyebabkan banyak sumberdaya dan
teknologi lokal yang dimiliki petani tidak termanfaatkan, bahkan diambil secara
paksa dari tangan petani.
Era
reformasi saat ini adalah momentum yang tepat bagi petani untuk bergerak
menuntut: reformasi total sektor pertanian. Reformasi ini harus mencakup reformasi
mendasar dari kebijakan pembangunan pemerintah di sektor pertanian, serta
memberikan pengakuan, pemulihan dan pemenuhan hak-hak petani.
3.4
Lembaga
atau Institusi yag Bertanggungjawab atas Pelaksanaan Kebijakan
·
Pemerintah Pusat/Daerah
·
Pakar Perguruan Tinggi
·
Mahasiswa
·
Pekerja swasta bidang pertanian
·
Pengurus Koperasi
·
Koperasi
·
Pekerja Agroindustri
·
Penyuluh Pertanian
·
Petani
3.5 Komentar atas Kebijakan Pembangunan
Pertanian
Pembangunan pertanian ini tidak
terlepas dari upaya membangkitkan semangat kemandirian dari masyarakat tani.
Dengan adanya kemandirian masyarakat tani pemerintah tidak perlu langsung
melaksanakan kegiatan pembangunan sendiri. Masyarakat dan dunia usaha dapat
melakukan kegiatan sendiri sedangkan pemerintah berperan dalam menjamin agar institusi-institusi,
dan aturan main berjalan sesuai dengan fungsinya.
Yudohusodo
(2004), menyarankan bahwadalam perumusan kebijakan pembangunan pertanian ke
depan perlu dirumuskan kebijakan ”modernisai pertanian”, dimana kebijakan
tersebut secara operasional perlu
didukung beberapa prasyarat mendasar yaitu:(1) Pemberian kepada setiap keluarga
petaniluasan lahan yang memenuhi skala ekonomi(mikro) untuk menjadi
sejahtera ( note: bandingkan dengan kasus Jepang, untuk hidup layak petani
minimal perlu mengelola lahan 3ha),(2) Mekanisasi dalam rangka optimalisasi tenaga
kerja, (3) Pembangunan pertanian dilakukan secara agribisnis untuk menjadikan
parapetani berpikir dan bekerja secara ekonomis agar dapat meningkatkan
kesejahteraannya,(4) Meningkatkan antara kesempatan kerja pertanian dan
kesempatan kerja diluar pertanian didesa-desa melaluipembangunan agro-industri
agar ketahanan ekonomi rakyat meningkat, dan (5) Membangun desa-desa menjadi pusat-pusat
kegiatan ekonomi
Koperasi Agribisnis “Antara Tantangan Dan Peluang”
BAB
IV PENUTUP
Pada orde baru,
“politik swasembada” menjadi bendera utama pengelolaan pembangunan pertanian,
dengan mengembangkan dan menerapkan program yang sebenarnya sudah dicanangkan
sebelumnya, yaitu intensifikasi dengan penerapan teknologi, ekstensifikasi,
rehabilitasi dan berbagai program lain. Keberhasilan program swasembada beras
sebagai monumen keberhasilan pembangunan pertanian orde baru, dicapai setelah
lebih dari 15 tahun program Pelita dijalankan dan penetapan pertanian sebagai
prioritas (sementara sektor lain menjadi penunjang), menjadikan pembangunan
pertanian sebagai program di semua lini pemerintahan. Berbagai studi telah
menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan pertanian pada masa itu lebih dari
60 % ditentukan oleh faktor infrastruktur dan kelembagaan penunjang, sedangkan
sekitar 40 % sendiri ditentukan oleh berbagai usaha yang dilakukan internal
sektor pertanian sendiri. Namun setelah pertengahan Tahun 1980-an –setelah
industri ditempatkan sebagai prioritas pertama- ekonomi Indonesia kemudian
memang berkembang lebih cepat, tetapi juga menjadi lebih rapuh yang berakhir
dengan krisis finansial Tahun 1997/1998.
Pada masa
transisi reformasi, politik pertanian Indonesia terbawa oleh arus perkembangan
politik nasional yang lebih besar. Departemen Pertanian melakukan pembangunan
pertanian yang terdesentralisasi sesuai dengan era politik yang dianut pada
masa tersebut. Selain itu arah pertanian menjadi lebih berdaya saing yang
mencerminkan perlunya usaha menghadapi tekanan persaingan yang semakin besar,
berkerakyatan yang mencerminkan semangat partisipasi dan berkelanjutan sejalan
dengan peningkatan kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan.
TINJAUAN
PUSTAKA
http://uphieflutterby.wordpress.com/2011/09/27/sejarah-perkembangan-pembangunan-pertanian-di-indonesia/
Keraf
AS . 2002. Etika Lingkungan. Jakarta : Penerbit Buku Kompas. Konsideran UU No.
12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman butir.
Salim
E. 1991. Pembangunan Berkelanjutan: Strategi Altematif Dalam Pembangunan Dekade
Sembilan Puluhan. Prisma No. 1 Januan 1991.
Soemarwoto
O. 1992. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama.
Soemarwoto
O. 2001. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Tap
MPR No IV Tahun 1999, Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Undang-Undang Dasar
1945.
WCED,
1988. Hari Depan Kita Bersama, Jakarta : Gramedia
Gudon
Esje,Daniel, “Menggugat revolusi hijau” Surat kabar WACANA No. 12 / Juli
- Agustus 1998
Irsal
Las , ”Revolusi Hijau Lestari untuk Ketahanan Pangan ke Depan” Badan
Litbang Pertanian Dimuat dalam Tabloid Sinar Tani, 14 Januari 2009
Ade
Rachmawati, J. B. Soesetiyo, Imam Hendarto, dan Genuk Christiastuti. “Pemicu
Enam Revolusi Biru”
Badrika,
I Wayan. “Sejarah Nasional Indonesia Dan Umum” Erlangga Jakarta 1991
M
Fadli Hasan dan Muh Ramli Ayubar. 2002. “Dari Revolusi Hijau ke Revolusi
Biru”Jakarta
Supriatna,
Nana. Drs, M.Ed. 2002. “Sejarah Nasional Indonesia dan Umum” Grafindo Media
Pratama Jakarta
Valensi
Kautsar. 2010. Pola Transformasi Spasial Pertanian di Kabupaten Sleman. Makalah
Seminar Kelas. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar